Jumat, 05 Mei 2017

KASUS TARIK ULUR KUNCI ANTARA ARCO DAN LANDMARK

Kasus 3.3 Hal 60 Buku Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus Dr. Abdul R. Saliman, S.H, M.M., - Edisi 5

Habis Sewa Terbitlah Perkara
Tarik Ulur Kunci antara Arco dan Landmark

Gara-gara ditolak ketika menyerahkan kembali kunci kepada induk semangnya PT Landmark, Atlantic Richfiled indonesia (Arco) terpaksa menitipkan rncengan kunci tersebut ke pengadilan Negeri (PN) Jakarta selatan. Tetapi, belakangan PN jakarta selatan tak mau menanggung resiko titipan tersebut.
Ternyata, tidak semua urusan sewa menyewa gedung pencakar langit bisa berjalan dengan mulus. Ada juga yang meninggalkan ganjalan, kendati masa sewa sudah habis dan sang tenant (penyewa) pindah ke gedung lain. Bahkan, sampai harus diselesaikan di badan Arbitrase Nasional Indonesia. (BANI) dan meja pengadilan.
Ceritanya,  arco menyewa sebanyak 20 lantai gedung Landmark dikawasan dukuh jakarta 18 juli 1991. Dasarnya adalah lease agreement antara kedua belah pihak tersebut. Perjanjian sewa ini habis pada 14 maret 2000 lalu. Namun ,arco memilih tidak memperpanjang kontrak dan pindah kegedung Hijau Arkadia. Sesuai dengan klausul kontrak Arco harus mengembalikan 174 kunci ruangan kantor kepada Landmark. Namun penyerahan iktikad itu ditolak oleh Landmark tanpa alasan yang sah yang dapat di terima.sehingga Arco menitipkan kuncinya paada PN jakarta selatan, sekaligus minta bantuan untuk melakukan penawaran penyerahan kepada landmark.
Pada 14 april 2000, PN jakarta selatan membuat penetapan yang ditandatangani ketuanya, Soenarto isinya menerima konsinyasi tersebut. Namun, empat hari kemudian, yakni 18 april 2000, PN jakarta selatan mengeluarkan penetapan baru. Pengadilan mengembalikan paket kunci tersebut kepada Arco karena Landmark tetap tidak mau menerima kunci-kunci tersebut. Dalam pertimbangannya Soenarto menulis bahwa penitipan kunci membawa pengaruh yang besar terhadap keselamatan gedung Landmark. “tidak tepat kalau PN Jkarata Selatan harus menanggung resiko atas keselamatan gedung tersebut”, demikian isi pertimbangan Soenarto.
Pihak Arco teentu tidak tinggal diam terhadap penetapan terakhir ini. Melalui kuasa hukumnya, mereka mengajukan verszet (perlawanan). Menurut Eri Hertiawan, salah satu kuasa hukum Arco, Soenarto salah menerapkan hukum dalam pertimbangan penetapan terakhir. Dalam surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.09/1976, ditegaskan bahwa hakim atau pengadilan dalam perkara perdata, bebas dari tuntutan ganti rugi. Jadi, yang mengambil resiko bukan pengadilan, melainkan Landmark sebagai kreditur. Lagi pula gedung sebesar itu pasti sudah diasuransikan.
Warisan yang Bagus atau Kembalikan Seperti Semula
Penolakan Landmark atas kunci-kunci itu, ternyata bukan tanpa sebab. Kedua pihak ternyata sedang menyelesaikan perkara sewa menyewa ini di BANI. Bisa jadi Landmark beranggapan jika menerima kunci berarti menerima kekalahan. Pada hal menurut Eri Hertiawan, penyerahan kunci bukan berarti penyelesaian atas proses arbitrase.
Nah, ada apa rupanya sampai kedua perusahaan ini terpaksa duduk semeja di arbitrase? ternyata  akhir dari usrusan sewa gedung itu tidaklah lancar. Landmark menolak pengembalian ruangan Arco. Menurut Eri, memang kliennya mendesain dan mengatur ulang 20 lantai yang di sewa. Sesuai dengan standar, Arco menyusun dan melengkapi semua ruangan tersebut dengan fasilitas lengkap ketimbang penyewa lain.
Landmark mempunyai pemikiran lain, dan enggan menerima gedungnya kembali dari Arco. Tetapi Arco tetap ngotot, menyerahkan gedung plus kunci dan pindah ke Arkadia. Akhirnya Landmark membawa sengketa ini ke BANI.
Kasus ini menurut sumber tadi adalah pengecualiannya, mungkin Arco menganggap ruang warisannya itu cukup bagus dan berkualitas. Sebaliknya mungkin saja Landmark menginginkan gedungnya dikembalikan seperti semula. Bisa jadi yang bagus hanya beberapa lantai untuk direksi, lantai karyawan bisa sudah beda kualitasnya. Tetapi, buat Landmark sendiri akan menguntungkan bila Arco tetap menyewa gedungnya. Maklum, bukan hal mudah mencari penyewa 20 lantai kosong dizaman sekarang. 

Penyelesaian kasus
Tidak semua perjanjian sewa-menyewa berakhir dengan mulus. Ada juga yang meninggalkan ganjalan seperti masa sewa sudah habis penyewa pindah ketempat lain. Akibatnya sampai dibadan Arbitraseb Nasional Indonesia(BANI) bahkan sampai ke meja pengadilan.
Dengan membuat suatu perjanjian pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu ,berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikat diri dengan jaminan  atau tanggungan berupa harta, kekayaan, yang dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikat diri tersebut.dengan sifat sukarela tersebut perjajian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yag membuat perjanjian.
Melihat dari indikasi perkara,pertimbangan yang paling baik  bagi hakim dalam memutuskan adalah sebagai berikut:
a.              Mengkonstatir yaitu melihat kebenaran dari pristiwa yang terjadi sesuai dengan surat gugatan penggugat yang kemudian pristiwa tersebut dibuktikan dan menghasilkan pristiwa yang konkrit.
b.              Mengkwalifisir yaitu dengan menilai pristiwa tersebut dijadikan pristiwa hukum
c.              Mengkonstituir yaitu menjatuhkan putusan dan memberikan hukuman atau memberikan hak-hak kepada yang berhak .
Rekomendasi penyelesaian yang paling baik bagi masing-masing pihak adalah masing-masing pihak mengembalikan gedung/barang tersebut seperti sedia kala dengan begitu tidak ada pihak yang dirugikan serta bertanggung jawab dengan keadaaan barang-barrang yang disewakan.

Disusun Oleh:
Desinta Bahagia (150404020043)
Marselina Saina Setia (150404020057)
Gaudenfiani Jantu (150404020040)
Stefanus Efron Defuster (150404020052)

Daftar Pustaka:
Abdul Rasyid Saliman, S.H., M.M. 2010. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori Dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar