Jumat, 05 Mei 2017

KASUS BANTUAN LIKUIDASI BANK INDONESIA (BLBI)




Kasus 3.1 Hal 48 Buku Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus Dr. Abdul R. Saliman, S.H, M.M., - Edisi 5

MSAA, Prestasi tau Prostitusi?

          Kalau saja Kwik Kian Gie tidak ngotot membatalkan Master Settlement & Acquisition Agreement (MSAA), mungkin para konglomerat penanda tangan kesepakatan itu bisa tidur nyenyak. Pasalnya, dengan skema MSAA utang Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dianggap lunas dengan menyerahkan sejumlah aset sebagai jaminan. Kesepakatan itu sekaligus membebaskan mereka dari tuntutan pidan atas berbagai pelanggaran yang mereka lakukan sebelum dan selama krisis. Jadi, soal dugaan perbankan yang mereka lakukan sebelum dan selama krisis. Jadi, soal dugaan pembobolan bank sendiri, pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), kongkalikong antara pejabat BI dan para bankir sehingga BLBI bisa mengucur deras melampaui kelayakan, dan dugaan dana BLBI dipakai membeli U$$ sampai nilai rupiah jadi kempis begini. Dari sisi ini MSAA bolehlah disebut perjanjian damai antara konglomerat penelan BLBI dengan pemerintah (Badan Penyehatan Perbakan Nasional/BPPN).
          Masalahnya, menurut Kwik, Menko Ekuin 10 bulan pada cabinet persatuan Gus Dur, skema MSAA berpotensi merugikan negara sekitar Rp 80 triliun atau hamper empat kali lipat anggaran pendidikan nasional tahun ini. Hitung-hitungnya sederhana sekali, aset-aset yang diserahkan Sudono Salim, Sjamsul Nuralim, Bob Hasan, dan Sudwikatmono, sebagai alat pembayaran utang BLBI, nilainya paling banter Cuma 30% dari yang dijaminkan. Artinya, BLBI yang ditenggak lewat bank-bank mereka sebesar Rp 112 triliun, Cuma dibayar 30%-nya. Kwik memang tidak mengada-ada. Divisi Asset Management Investment (AMI) BPPN, yang menilai ulang aset-aset tadi pada April 2000, membenarkannya. Menurut AMI, nilai aset ke 10 holding company (holdco), yang dibentuk untuk menampung aset jaminan, Cuma Rp 30 triliun atau 37% nilai saat dijaminkan.
          Mengapa pemerintah tidak meminta saja kekurangannya dari mereka? Itulah masalahnya. Dalam skema MSAA, yang ditandatangani 21 September -6 November 1998, para penerima BLBI sepakat mengembalikan ke pemerintah (BP mengembalikan ke pemerintah {BP aset}). Aset tersebut ditaksir nilainya sama besar dengan jumlah BLBI yang mereka sedot selama krisis. Begitulah Grup Salim (Bank Central Asia) yang menelan Rp 52,62 triliun BLBI menyerahkan 109 asetnya. Aset-aset itu kemudian dikumpulkan dalam satu holdco PT Holdiko Perkasa (Holdiko). Grup Sjamsul (Bank Dagang Nasional Indonesia) yang menelan Rp 28,41 triliun BLBI menyerahkan 12 aset, termasuk Tambak Udang Windu Dipasena. Aset tersebut dikumpulkan di PT Tunas Sepadan Investama. Lalu, Bob (Bank Umum Nasional) yang menelan Rp 6,61 triliun BLBI menyerahkan 30 aset yang disatukan dalam PT Kiani Wirudha. Sementara itu, Sudwikatmono (Bank Surya) yang memperoleh Rp 1,89 triliun BLBI menyerahkan lima asetnya.
          Apa sebenarnya yang salah dari penyerahan aset tersebut? Sampai di situ memang tidak ada masalah. Apalagi, bila mereka dengan jujur dan niat baik menilai aset sendiri (tidak ada mark up), seperti yang diminta dalam perjanjian MSAA. Nah, baru menjadi masalah ketika orang membaca salah satu klausul, yang membuat Kwik uring-uringan. Klausul tadi kasarnya berbuyi apabila nilai aset-aset yang diberikan itu melebihi nilai yang dijaminkan, pemerintah harus mengembalikan kelebihannya ke pemilik aset semula. Namun, bila ternyata nilainya kurang dari itu, dia menjadi tanggungan pemerintah.” “Perjanjian seperti ini kok bisa ditandatangani” kata Kwik beranggapan beberapa waktu sebelum mengundurkan diri dari cabinet Gus Dur.
          Tentu saja, Kwik yang saat itu Menko Ekuin, keberatan bila MSAA diteruskan, sebab potensi kerugian yang harus ditanggung negara amat besar. Penilaian ulang AMI diatas adalah salah satu contohnya. Dipasena, pertambakan udang windu raksa milik Sjamsul dinilai Swiss First Bosyon-konsultan asing yang disewanya-U$$ 2 milyar. Dengan kurs penilai saat itu Rp 10-11 ribu/U$$, nilainya menjadi Rp 20 triliun lebih. Padahal, nilai rillnya, kata Kwik (dan ini dibenarkan ketua BPPN, Cacuk Sudarijanto), paling banter Cuma 2 triliun. Sebab, yang tinggal hanyalah kolam-kolam raksasa dan air, serta beberapa genset, dan sebagainya. Di tataran aplikasi, menampung 109 aset (Grup Salim) telah ditawar perusahaan berbendera Malaysia Rp 20 triliun. Padahal, dijaminkan Salim ke BPPN seharga Rp 52 triliun lebih.
          Mungkin karena ingin mengejar setoran, BPPN sebagai penguasa aset hamper saja melepas Holdiko dengan harga diskon tersebut. Orang merasa lebih tidak enak lagi, setelah terungkap bahwa perusahaan yang mau mengambil alih Holdiko, ternyata milik Salim. “Mengapa tidak bayar saja utangnya secara tuanai, bila memang masih banyak duit?” begitulah opini yang berkembang kemudian. Salim sendiri menganggap harga itu wajar, karena pemerintah Thailand juga Cuma mendapatkan 30% dari nilai aset yang dijaminkan konglomeratnya. Bila konglomerat sebesar Sjamsul membebani pemerintah kerugian sekitar Rp 32 triliun, Bob, Sudwikadmono, berapa lagi? Haruskah semuanya dibebankan ke APBN, yang berarti 210 juta rakyat Indonesia ikut memikulnya lewat pengurangan anggaran pendidikan, kesehatan, dan lain-lain?
          Bagi Kwik, mustahil BPPN yang notabane  bermuatan orang-orang professional mantan pengelola bank tidak mengerti soal ini. Banyak kalangan menilai, kesepakatan itu tidak beda jauh dari prostitusi intelektual. Memang, ada peredam kecil, yakni klausul soal hold asset. Dengan ini, jika utang lebih besar dari sset yang diserahkan, si penanda tangan harus menyerahkan aset tambahan. Namun, siapa lagi yang mau berpikir soal hold back asset, bila ada klausal bagus yang membebaskannya dari itu?
          MSAA memang bukan satu-satunya kesepakatan yang disodorkan BPPN ke konglomerat kakap pemamah BLBI. Pararel dengan MSAA telah ditandatangani pula Master of Refinancing Agreement (MRA). Empat konlomerat papan atas menandatanganinya, dan telah pula menyerahkan sejumlah aset. Usman Admadjaja (Bank Danamon) yang menerima Rp 12,32 triliun BLBI, misalnya, menyerahkan 26 aset yang digabung dalam PT Bantala Kartika Abadi. Kaharuddin Ongko (BUN), yang melahap Rp 7,84 triliun BLBI, menyerahkan 20 aset dan disatukan dalam PT Arya Mustika. BUN yang dimiliki Bob Hasan dan Ongko, kata sumber SWA di BPPN, memang dijadikan mesin uang kedua konglomerat itu lewat orangnya masing-masing. Jadi, mereka berdua harus menanggulangi: Bob lewat MSAA, dan ongko lewat MRA. Samadikun Hartono (Bank Modern) yang memakan Rp 2,66 triliun BLBI menyerahkan 10 asetnya, digabung dalam PT Cakrawala Gita Pratama. Lalu, Hokiarto (Bank Hokindo) yang memakai Rp 339 miliar BLBI menyerahkan 12 aset.
          Meskipun kedua kesepakatan itu sama-sama skema penyelesaian BLBI dengan jaminan aset, asumsi yang mendasari keduanya amat berbeda. Menurut sumber SWA di BPPN (kini mantan), MSAA didasari asumsi bahwa aset yang diserahkan para bankir bagus-bagus dan nilainya melebihi utang BLBI. Sementara itu skema MRA didasari asumsi bahwa aset yang diserahkan tidaklah bagus, dan nilai dibawah utang BLBI. Akibatnya, perlakuan terhadap mereka juga berbeda. Skema MRA mewajibkan penegak BLBI menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee), jika utang BLBI mereka ternyata melebihi aset yang diserahkan. Kini, mereka berteriak merasa diperlakukan BPPN tidak adil. Mereka lebih suka, bila diizinkan menyelesaikan utang BLBI lewat skema MSAA. Tidak kurang galaknya 25 mantan pemegang saham Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), yang kini diwajibkan mengikuti struktur penyelesaian kewajiban pemegang saham. PKPS memaksa mereka menyelesaiakan kewajiban secara tunai “seharusnya, pemilik BBKU juga mendapat perlakuan yang sama, yaitu menyelesaikan kewajibanya dengan skema MSAA,” kata pemilik Bank Mashill, Philip Widjaja. 
Penyelesaiannya:
Upaya menyita dan menyeret para koruptor BLBI memang bukan perkara mudah. Ini sama sulitnya dengan upaya membersihkan Indonesia dari korupsi. Tetapi pada kenyataan para tersangka  banyak yang melarikan diri ke luar negeri bahkan sebagian dari para pelaku ada yang meninggal dunia di luar negeri. Upaya penyelesaian kasus BLBI menurut kelompok kami adalah:
a.       Untuk penyelesaiaan pihak-pihak yang terlibat kasus tersebut yang melarikan diri keluar negeri pemerintah seharusnya berupaya menunjukkan keseriusannya dengan menunjuk kejaksaan agung membentuk tim pemburu koruptor dan melakukan perjanjian atau kerja sama ekstradisi dengan negara-negara tersebut.
b.      Pemerintah seharusnya memperlihatkan pelaksaan penegakan hukum yang diskriminatif.
c.       Pemerintah membuat kebijakan yang lebih meyeimbangkan antara penegakan hukum yang tidak pandang bulu dan membuat kebijakan untuk pengembalian aset negara yang telah dibawa lari oleh para koruptor(orang yang menerbitan obligasi) tersebut.
d.      Prinsip hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat harusnya ditegakkan dalam masyarakat untuk menegakkan slogan tegakkan hukum tanpa pandang bulu.
e.       Pemerintah harusnya benar-benar mengambil langkah yang kongkrit dalam menyelesaikan kasus BLBI serta mengambil tindakan yang tegas terhadap para pemilik utang dengan kata lain tidak cukup mengandalkan pendekatan politik yang mengabaikan prinsip-prinsip penegakan hukum.
Dan yang menanggung semua utang-utang, bunga, dan biaya penyelesaian perkara ialah para obligor, namun jika para obligor telah meninggal maka semua hutang biaya dan bunga akan dilimpahkan kepada ahli waris (jika ada). Jika tidak ada ahli waris atau ahli waris tidak sanggup membayar semua itu maka semua tanggungan akan ditangguhkan/dilimpahkan kepada negara. Seperti yang tertera Undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia pada pasal 11 ayat 4 dikatakan bahwa “Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah”. Ketentuan-ketentuan di atas merupakan revisi secara fundamental dari Undang-undang tentang Bank Indonesia, sebelumnya yang menempatkan Bank Indonesia sebagai bagian dari Pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Undang undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
Implikasi hukumya dengan memperbaiki isi dan klausul MSAA agar pemerintah mencerminkan prinsip keadilan, akuntanbilitas, pemulihan hutang yang maksimal serta berlangsungnya pengembangan usaha sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, dengan dilakukan proses valuation jika assemya kurang nilai asset yang dijadikan jaminan setara dengan utangnya.
Langkah penegakan hukum telah dilaksanakan yang mengakibatkan pengambil kebijakan pengucuran BLBI telah dijatuhi hukuman sedangkan 2 (dua) direksi lainnya di SP3-kan oleh Kejagung, dan sejumlah kecil penerima BLBI dihukum. Pemerintah telah menetapkan kebijakan hukum menggunakan penyelesaian di luar pengadilan dengan payung hukum UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan Payung Politik TAP MPR RI kemudian ditindak lanjuti dengan Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang mengesahkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU, dan SKL. Konsekuensi dari Inpres tersebut adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI (SP3) oleh kejaksaan agung namun tidak merujuk kepada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan. Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi seluruh kewajibannya) tidak memberikan hasil maksimal untuk kepentingan Negara.
Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Kinerja BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dinilai kurang maksimal dan memuaskan pada saat itu. BPPN adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional  yang fungsi awalnya didirikannya lembaga ini dengan mengemban tugas pokok yaitu untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Ada banyak hal untuk dipertimbangakan untuk menyimpulkan hal tersebut. Tidak dapat disangkal jika usaha BPPN untuk menyehatkan bank – bank bermasalah tidak sepenuhnya menunjukkan hasil yang optimal atau baik.
Contohnya saja seperti upaya penggabungan lima bank sakit yang tidak malah menghasilkan bank sehat tetapi malah menambah berat beban negara melalui suntikan modal ataupun obligasi rekapitalisasi (Penambahan penyertaan modal pemerintah di perbankan dengan memperlakukan penyertaan tersebut seperti pinjaman Pemerintah kepada perbankan (sisi debet) dan Penyertaan Modal Pemerintah (sisi kredit), Obligasi yang diterbitkan  pemerintah sehubungan dengan program Rakapitalisasi Perbankan yang tujuan untuk mengatasi kesulitan permodalan bank – bank tersebut akibat pengaruh krisis ekonomi di akhit tahun 1997). Selain meragukan kinerjanya dalam pembenahan perbankan di dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang meningkatkan recovery aset – aset yang dikuasainya juga masih diragukan keberhasilannya. Seperti dalam kasus ini, penguasaan aset yang sudah menjadi hak pemerintah itu ternyata masih berada di bawah kendali para pemilik lama, Bahkan dugaan aset – aset yang sudah dijual  kemudian jatuh kembali ke tangan pemilik lama menjadi peringatan yang merugikan negara. Berkaitan dengan pengembalian aset, upaya BPPN dalam menyetorkan dana pemerintah itu sering kali melupakan upanya untuk meningkatkan nilai aset. Pola kerjar setoran dengan mengobral aset ini mengakibatkan fungsi BPPN tidak optimal. Publik atau masyarakat juga mengkhawatirkan praktik – praktik penyimpan didalam lembaga ini. Beban tugasnya untuk mengurangi kerugian negara dengan merestrukturisasi aset dan kewajiban untuk menyetor dana ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) telah membuat BPPN menjadi tambang uang yang mengiurkan banyak pihak. Keraguan di masyarakat  menguat  mulai muncul, ketika mereke mengingat langkah – langkah yang dilakukannya sering kali menjadi polemik disebagian besar kalangan masyarakat. Dan pada kahirnya pada pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri membubarkan BPPN pada 27 Februari 2004 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 2004 tentang Pengakhiran tugas dan pembubaran BPPN, tak hanya itu presiden Megawati Soekarnoputri juga menunjuk Menteri Keuangan Boediono sebagai ketua tim pemberesan Badan Penyehatan Perbankan Nasional melalui Kepres Nomor 16 tahun 2004 tentang pembentukan tim pemberesan BPPN.

Disusun oleh Anggota Kelompok 1:
Erina Adelia(150404020058)
Rizka Putri Lestari (150404020059)
Nikmatul Khasanah (150404020061)
Lovia Emilda Putri (150404020064)
Daftar Pustaka: Abdul Rasyid Saliman, S.H., M.M. 2010. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori Dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar