Kasus 3.1 Hal 48 Buku Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus Dr. Abdul
R. Saliman, S.H, M.M., - Edisi 5
MSAA, Prestasi
tau Prostitusi?
Kalau saja Kwik Kian Gie tidak ngotot membatalkan Master Settlement &
Acquisition Agreement (MSAA), mungkin para konglomerat penanda tangan
kesepakatan itu bisa tidur nyenyak. Pasalnya, dengan skema MSAA utang Bantuan
Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) dianggap lunas dengan menyerahkan sejumlah aset
sebagai jaminan. Kesepakatan itu sekaligus membebaskan mereka dari tuntutan
pidan atas berbagai pelanggaran yang mereka lakukan sebelum dan selama krisis.
Jadi, soal dugaan perbankan yang mereka lakukan sebelum dan selama krisis.
Jadi, soal dugaan pembobolan bank sendiri, pelanggaran Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK), kongkalikong antara pejabat BI dan para bankir sehingga BLBI
bisa mengucur deras melampaui kelayakan, dan dugaan dana BLBI dipakai membeli
U$$ sampai nilai rupiah jadi kempis begini. Dari sisi ini MSAA bolehlah disebut
perjanjian damai antara konglomerat penelan BLBI dengan pemerintah (Badan
Penyehatan Perbakan Nasional/BPPN).
Masalahnya, menurut Kwik, Menko Ekuin 10 bulan pada cabinet persatuan Gus Dur,
skema MSAA berpotensi merugikan negara sekitar Rp 80 triliun atau hamper empat
kali lipat anggaran pendidikan nasional tahun ini. Hitung-hitungnya sederhana
sekali, aset-aset yang diserahkan Sudono Salim, Sjamsul Nuralim, Bob Hasan, dan
Sudwikatmono, sebagai alat pembayaran utang BLBI, nilainya paling banter Cuma
30% dari yang dijaminkan. Artinya, BLBI yang ditenggak lewat bank-bank mereka
sebesar Rp 112 triliun, Cuma dibayar 30%-nya. Kwik memang tidak mengada-ada.
Divisi Asset Management Investment (AMI) BPPN, yang menilai ulang aset-aset
tadi pada April 2000, membenarkannya. Menurut AMI, nilai aset ke 10 holding
company (holdco), yang dibentuk untuk menampung aset jaminan, Cuma Rp 30
triliun atau 37% nilai saat dijaminkan.
Mengapa pemerintah tidak meminta saja kekurangannya dari mereka? Itulah
masalahnya. Dalam skema MSAA, yang ditandatangani 21 September -6 November
1998, para penerima BLBI sepakat mengembalikan ke pemerintah (BP mengembalikan
ke pemerintah {BP aset}). Aset tersebut ditaksir nilainya sama besar dengan
jumlah BLBI yang mereka sedot selama krisis. Begitulah Grup Salim (Bank Central
Asia) yang menelan Rp 52,62 triliun BLBI menyerahkan 109 asetnya. Aset-aset itu
kemudian dikumpulkan dalam satu holdco PT Holdiko Perkasa (Holdiko). Grup
Sjamsul (Bank Dagang Nasional Indonesia) yang menelan Rp 28,41 triliun BLBI
menyerahkan 12 aset, termasuk Tambak Udang Windu Dipasena. Aset tersebut
dikumpulkan di PT Tunas Sepadan Investama. Lalu, Bob (Bank Umum Nasional) yang
menelan Rp 6,61 triliun BLBI menyerahkan 30 aset yang disatukan dalam PT Kiani
Wirudha. Sementara itu, Sudwikatmono (Bank Surya) yang memperoleh Rp 1,89
triliun BLBI menyerahkan lima asetnya.
Apa sebenarnya yang salah dari penyerahan aset tersebut? Sampai di situ memang
tidak ada masalah. Apalagi, bila mereka dengan jujur dan niat baik menilai aset
sendiri (tidak ada mark up), seperti yang diminta dalam perjanjian MSAA. Nah,
baru menjadi masalah ketika orang membaca salah satu klausul, yang membuat Kwik
uring-uringan. Klausul tadi kasarnya berbuyi “
apabila nilai aset-aset yang diberikan itu melebihi nilai yang dijaminkan,
pemerintah harus mengembalikan kelebihannya ke pemilik aset semula. Namun, bila
ternyata nilainya kurang dari itu, dia menjadi tanggungan pemerintah.”
“Perjanjian seperti ini kok bisa ditandatangani” kata Kwik beranggapan beberapa
waktu sebelum mengundurkan diri dari cabinet Gus Dur.
Tentu saja, Kwik yang saat itu Menko Ekuin, keberatan bila MSAA diteruskan,
sebab potensi kerugian yang harus ditanggung negara amat besar. Penilaian ulang
AMI diatas adalah salah satu contohnya. Dipasena, pertambakan udang windu raksa
milik Sjamsul dinilai Swiss First Bosyon-konsultan asing yang disewanya-U$$ 2
milyar. Dengan kurs penilai saat itu Rp 10-11 ribu/U$$, nilainya menjadi Rp 20
triliun lebih. Padahal, nilai rillnya, kata Kwik (dan ini dibenarkan ketua
BPPN, Cacuk Sudarijanto), paling banter Cuma 2 triliun. Sebab, yang tinggal
hanyalah kolam-kolam raksasa dan air, serta beberapa genset, dan sebagainya. Di
tataran aplikasi, menampung 109 aset (Grup Salim) telah ditawar perusahaan
berbendera Malaysia Rp 20 triliun. Padahal, dijaminkan Salim ke BPPN seharga Rp
52 triliun lebih.
Mungkin karena ingin mengejar setoran, BPPN sebagai penguasa aset hamper saja
melepas Holdiko dengan harga diskon tersebut. Orang merasa lebih tidak enak
lagi, setelah terungkap bahwa perusahaan yang mau mengambil alih Holdiko,
ternyata milik Salim. “Mengapa tidak bayar saja utangnya secara tuanai, bila
memang masih banyak duit?” begitulah opini yang berkembang kemudian. Salim
sendiri menganggap harga itu wajar, karena pemerintah Thailand juga Cuma
mendapatkan 30% dari nilai aset yang dijaminkan konglomeratnya. Bila
konglomerat sebesar Sjamsul membebani pemerintah kerugian sekitar Rp 32
triliun, Bob, Sudwikadmono, berapa lagi? Haruskah semuanya dibebankan ke APBN,
yang berarti 210 juta rakyat Indonesia ikut memikulnya lewat pengurangan
anggaran pendidikan, kesehatan, dan lain-lain?
Bagi Kwik, mustahil BPPN yang notabane bermuatan orang-orang professional
mantan pengelola bank tidak mengerti soal ini. Banyak kalangan menilai,
kesepakatan itu tidak beda jauh dari prostitusi intelektual. Memang, ada
peredam kecil, yakni klausul soal hold asset. Dengan ini, jika utang lebih
besar dari sset yang diserahkan, si penanda tangan harus menyerahkan aset
tambahan. Namun, siapa lagi yang mau berpikir soal hold back asset, bila ada
klausal bagus yang membebaskannya dari itu?
MSAA memang bukan satu-satunya kesepakatan yang disodorkan BPPN ke konglomerat
kakap pemamah BLBI. Pararel dengan MSAA telah ditandatangani pula Master of
Refinancing Agreement (MRA). Empat konlomerat papan atas menandatanganinya, dan
telah pula menyerahkan sejumlah aset. Usman Admadjaja (Bank Danamon) yang
menerima Rp 12,32 triliun BLBI, misalnya, menyerahkan 26 aset yang digabung
dalam PT Bantala Kartika Abadi. Kaharuddin Ongko (BUN), yang melahap Rp 7,84
triliun BLBI, menyerahkan 20 aset dan disatukan dalam PT Arya Mustika. BUN yang
dimiliki Bob Hasan dan Ongko, kata sumber SWA di BPPN, memang dijadikan mesin
uang kedua konglomerat itu lewat orangnya masing-masing. Jadi, mereka berdua
harus menanggulangi: Bob lewat MSAA, dan ongko lewat MRA. Samadikun Hartono
(Bank Modern) yang memakan Rp 2,66 triliun BLBI menyerahkan 10 asetnya,
digabung dalam PT Cakrawala Gita Pratama. Lalu, Hokiarto (Bank Hokindo) yang
memakai Rp 339 miliar BLBI menyerahkan 12 aset.
Meskipun kedua kesepakatan itu sama-sama skema penyelesaian BLBI dengan jaminan
aset, asumsi yang mendasari keduanya amat berbeda. Menurut sumber SWA di BPPN
(kini mantan), MSAA didasari asumsi bahwa aset yang diserahkan para bankir
bagus-bagus dan nilainya melebihi utang BLBI. Sementara itu skema MRA didasari
asumsi bahwa aset yang diserahkan tidaklah bagus, dan nilai dibawah utang BLBI.
Akibatnya, perlakuan terhadap mereka juga berbeda. Skema MRA mewajibkan penegak
BLBI menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee), jika utang BLBI
mereka ternyata melebihi aset yang diserahkan. Kini, mereka berteriak merasa
diperlakukan BPPN tidak adil. Mereka lebih suka, bila diizinkan menyelesaikan
utang BLBI lewat skema MSAA. Tidak kurang galaknya 25 mantan pemegang saham
Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), yang kini diwajibkan mengikuti struktur
penyelesaian kewajiban pemegang saham. PKPS memaksa mereka menyelesaiakan
kewajiban secara tunai “seharusnya, pemilik BBKU juga mendapat perlakuan yang
sama, yaitu menyelesaikan kewajibanya dengan skema MSAA,” kata pemilik Bank
Mashill, Philip Widjaja.
Penyelesaiannya:
Upaya
menyita dan menyeret para koruptor BLBI
memang bukan perkara mudah. Ini sama sulitnya dengan upaya membersihkan Indonesia
dari korupsi.
Tetapi pada kenyataan para tersangka banyak yang melarikan diri ke luar
negeri bahkan sebagian dari para pelaku ada yang meninggal dunia di luar
negeri. Upaya penyelesaian kasus BLBI menurut kelompok kami adalah:
a.
Untuk penyelesaiaan pihak-pihak yang terlibat kasus tersebut yang melarikan
diri keluar negeri pemerintah seharusnya berupaya menunjukkan keseriusannya
dengan menunjuk kejaksaan agung membentuk tim pemburu koruptor dan melakukan
perjanjian atau kerja sama ekstradisi dengan negara-negara tersebut.
b.
Pemerintah seharusnya memperlihatkan pelaksaan penegakan hukum yang
diskriminatif.
c.
Pemerintah membuat kebijakan yang lebih meyeimbangkan antara penegakan hukum
yang tidak pandang bulu dan membuat kebijakan untuk pengembalian aset negara
yang telah dibawa lari oleh para koruptor(orang yang menerbitan obligasi)
tersebut.
d.
Prinsip hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat harusnya ditegakkan dalam
masyarakat untuk menegakkan slogan tegakkan hukum tanpa pandang bulu.
e.
Pemerintah harusnya benar-benar mengambil langkah yang kongkrit dalam
menyelesaikan kasus BLBI serta mengambil tindakan yang tegas terhadap para
pemilik utang dengan kata lain tidak cukup mengandalkan pendekatan politik yang
mengabaikan prinsip-prinsip penegakan hukum.
Dan
yang menanggung semua utang-utang, bunga, dan biaya penyelesaian perkara ialah
para obligor, namun jika para obligor telah meninggal maka semua hutang biaya
dan bunga akan dilimpahkan kepada ahli waris (jika ada). Jika tidak ada ahli
waris atau ahli waris tidak sanggup membayar semua itu maka semua tanggungan
akan ditangguhkan/dilimpahkan kepada negara. Seperti yang tertera Undang-undang
nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI nomor 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia pada pasal 11 ayat 4 dikatakan bahwa “Dalam hal suatu
bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat
memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban
pemerintah”. Ketentuan-ketentuan di atas merupakan revisi secara fundamental
dari Undang-undang tentang Bank Indonesia, sebelumnya yang menempatkan Bank
Indonesia sebagai bagian dari Pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Undang
undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
Implikasi
hukumya dengan memperbaiki isi dan klausul MSAA agar pemerintah mencerminkan
prinsip keadilan, akuntanbilitas, pemulihan hutang yang maksimal serta
berlangsungnya pengembangan usaha sehingga tidak ada pihak yang dirugikan,
dengan dilakukan proses valuation jika assemya kurang nilai asset yang
dijadikan jaminan setara dengan utangnya.
Langkah
penegakan hukum telah dilaksanakan yang mengakibatkan pengambil kebijakan
pengucuran BLBI telah dijatuhi hukuman sedangkan 2 (dua) direksi lainnya di
SP3-kan oleh Kejagung, dan sejumlah kecil penerima BLBI dihukum. Pemerintah
telah menetapkan kebijakan hukum menggunakan penyelesaian di luar pengadilan
dengan payung hukum UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan Payung Politik
TAP MPR RI kemudian ditindak lanjuti dengan Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang
mengesahkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU, dan SKL. Konsekuensi dari Inpres
tersebut adalah dihentikannya penyidikan kasus BLBI (SP3) oleh kejaksaan agung
namun tidak merujuk kepada ketentuan KUHAP atau UU Kejaksaan. Surat Keterangan
Lunas (SKL) terhadap obligor yang diharapkan kooperatif (melunasi seluruh kewajibannya)
tidak memberikan hasil maksimal untuk kepentingan Negara.
Oleh
karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank
penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya
tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan
ketentuan hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi
perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan
negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3
tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa
kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan
pertanggungjawaban pidana.
Kinerja
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dinilai kurang maksimal dan
memuaskan pada saat itu. BPPN adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional
yang fungsi awalnya didirikannya lembaga ini dengan mengemban tugas pokok yaitu
untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan
pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Ada banyak hal
untuk dipertimbangakan untuk menyimpulkan hal tersebut. Tidak dapat disangkal
jika usaha BPPN untuk menyehatkan bank – bank bermasalah tidak sepenuhnya
menunjukkan hasil yang optimal atau baik.
Contohnya
saja seperti upaya penggabungan lima bank sakit yang tidak malah menghasilkan
bank sehat tetapi malah menambah berat beban negara melalui suntikan modal
ataupun obligasi rekapitalisasi (Penambahan penyertaan modal pemerintah di
perbankan dengan memperlakukan penyertaan tersebut seperti pinjaman Pemerintah
kepada perbankan (sisi debet) dan Penyertaan Modal Pemerintah (sisi kredit),
Obligasi yang diterbitkan pemerintah sehubungan dengan program
Rakapitalisasi Perbankan yang tujuan untuk mengatasi kesulitan permodalan bank
– bank tersebut akibat pengaruh krisis ekonomi di akhit tahun 1997). Selain
meragukan kinerjanya dalam pembenahan perbankan di dalam menjalankan fungsinya
sebagai lembaga yang meningkatkan recovery aset – aset yang dikuasainya juga
masih diragukan keberhasilannya. Seperti dalam kasus ini, penguasaan aset yang
sudah menjadi hak pemerintah itu ternyata masih berada di bawah kendali para
pemilik lama, Bahkan dugaan aset – aset yang sudah dijual kemudian jatuh
kembali ke tangan pemilik lama menjadi peringatan yang merugikan negara.
Berkaitan dengan pengembalian aset, upaya BPPN dalam menyetorkan dana
pemerintah itu sering kali melupakan upanya untuk meningkatkan nilai aset. Pola
kerjar setoran dengan mengobral aset ini mengakibatkan fungsi BPPN tidak
optimal. Publik atau masyarakat juga mengkhawatirkan praktik – praktik
penyimpan didalam lembaga ini. Beban tugasnya untuk mengurangi kerugian negara
dengan merestrukturisasi aset dan kewajiban untuk menyetor dana ke anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) telah membuat BPPN menjadi tambang uang
yang mengiurkan banyak pihak. Keraguan di masyarakat menguat mulai
muncul, ketika mereke mengingat langkah – langkah yang dilakukannya sering kali
menjadi polemik disebagian besar kalangan masyarakat. Dan pada kahirnya pada
pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri membubarkan BPPN pada 27 Februari
2004 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 tahun 2004 tentang Pengakhiran
tugas dan pembubaran BPPN, tak hanya itu presiden Megawati Soekarnoputri juga
menunjuk Menteri Keuangan Boediono sebagai ketua tim pemberesan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional melalui Kepres Nomor 16 tahun 2004 tentang
pembentukan tim pemberesan BPPN.
Disusun oleh Anggota Kelompok 1:
Erina Adelia(150404020058)
Rizka Putri Lestari (150404020059)
Nikmatul Khasanah (150404020061)
Lovia Emilda Putri (150404020064)
Disusun oleh Anggota Kelompok 1:
Erina Adelia(150404020058)
Rizka Putri Lestari (150404020059)
Nikmatul Khasanah (150404020061)
Lovia Emilda Putri (150404020064)
Daftar Pustaka: Abdul Rasyid Saliman, S.H., M.M. 2010. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori Dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar