Sabtu, 19 Maret 2016

MAKALAH “UPAYA PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK DI INDONESIA”



KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “UPAYA PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK DI INDONESIA” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu XXXX, S.Pd., MM  selaku Dosen mata kuliah Hukum Pajak  yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Malang, 04 Januari 2016
 Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pajak merupakan suatu iuran wajib bagi wajib pajak. Adanya pajak diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan hidup semua masyarakat dengan meratakan pembangunan di Indonesia. Pajak tidak bisa dirasakan lagsung manfaatnya oleh masyarakat Wajib Pajak, karena masih butuh proses dan pertimbangan oleh pemerintah. Didalam suatu wilayah di Indonesia dan segala sesuatu yang bernilai di atasnya, dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus memiliki aturan yang jelas.
Salah satu media perpajakan yang mempunyai kekuatan hukum memaksa untuk penagihan tunggakan pajak adalah Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP). Menurut UU RI Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa pasal 1 ayat (12), “Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak”. Jumlah tagihan pajak yang tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran sesuai yang tercantum dalam STP, SKPKB, dan SKPKBT ditagih dengan menggunakan Surat Paksa.
Peningkatan jumlah pajak adalah tujuan dari pemerintah di Indonesia, karena dengan teraturnya WP membayar pajak maka tujuan tersebut akan terlaksana dengan baik. Pemeriksaan dan penagihan pajak adalah upaya meningkatkan penerimaan pajak. Pemeriksaan serta penagihan pajak juga akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak (tax compliance), jika kepatuhan dan jumlah wajib pajak meningkat maka akan meningkatkan penerimaan pajak Negara.Penagihan pajak dilaksanakan terhadap tunggakan pajak yang belum dipenuhi oleh wajib pajak.




1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah kami jelaskan tersebut, kami menemukan pokok permasalahannya sebagai berikut:
1.      Apa pengertian pajak?
2.      Apa pengertian penagihan pajak?
3.      Apa saja hambatan dalam proses penagihan pajak?
4.      Bagaimana upaya-upaya dalam mengahadapi hambatan dalam penagihan pajak?


1.3  Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan wawasan bagi mahasiswa atau pembaca. Dan diharapkan tulisan ini dapat menjadi suatu pemaparan yang dapat menjelaskan tentang tata cara penagihan pajak di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.. Adapaun menurut Prof. Dr. MJH. Smeeth, pengertian pajak adalah prestasi pemerintah yang terhitung melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan istilah wajib pajak mengandung pengertian bahwa wajib pajak itu tidak mau membayar pajak yang dibebankan kepadanya, maka hutang pajak itu dapat ditagih secara paksa, misalnya dengan penyitaan. Wujud dari pembayaran pajak tersebut nantinya akan berwujud pembangunan yang dilaksanakan di seluruh Indonesia.


2.2  Pengertian Penagihan Pajak
Menurut Moeljo, SH dengan bukunya yang berjudul “ Dasar-dasar Penagihan Pajak Negara “ menjelaskan bahwa penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh kewajiban perpajakan menurut Undang-undang Perpajakan.
Menurut Rachmat Soemitro, SH dengan bukunya yang berjudul “ Azas dan Dasar Perpajakan 2 yaitu tepatnya pada halaman 67 ( enam puluh tujuh) cetakan tahun 1988 menjelaskan bahwa penagihan adalah perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan undang- undang perpajakan.
Berdasarkan Undang-undang No.19 Tahun 2000 Pasal 1 angka, menjelaskan bahwa pengertian dari penagihan pajak adalah suatu rangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, dan menjual barang yang telah disita. Adapun tujuan dari dilaksanakannya penagihan adalah supaya pelunasan hutang Wajib Pajak yang dilakuakan oleh Fiskus harus terarah agar terpenuhi tujuan yang diharapkan sebelumnya.
      Dari beberapa pengertian diatas penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita.


2.3  Dasar Penagihan Pajak
Dasar hukum untuk melakukan penagihan pajak diatur dalam UU KUP, misalnya untuk:
1.      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 pasal 14 disebutkan “ Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan (SKP), dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak”.
2.      Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 pasal 14 ayat 1 disebutkan “ Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak ata Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak”.
3.      Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 1 ayat 6.

2.4  Upaya Dalam Penagihan Pajak
Tindakan penagihan pajak dengan Surat paksa dilakukan apabila fiskus telah melakukan tindakan penagihan pajak secara aktif tetapi wajib pajak tidak juga membayar utang pajaknya. Tindakan tersebut merupakan perwujudan dari alat paksa yang dimiliki oleh negara dan yang diatur dalam hukum pajak. Menurut pasal 20 Undang-Undang KUP mengatur bahwa jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetatapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah yang tidak dibayar oleh penanggung pajak sesuai dengan jangka waktu pembayaran pajak yang telah ditentukan ditagih dengan Surat Paksa.
Berdasarkan jumlah tagihan pajak tersebut apabila terdapat tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran wajib pajak tidak melunasi pajak terutang, atau wajib pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihan pajak yang tidak atau kurang bayar tersebut dilakukan dengan Surat Paksa.
Tindakan penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan tidak hanya terhadap wajib pajak tetapi jugaterhadap penanggung pajak yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang KUP diwajibkan untuk ikut bertanggung jawab dalam pembayaran pajak yang terutang. Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Surat Paksa diterbitkan apabila :
(1)         Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
(2)         Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau
(3)         Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Skema Prosedur Penagihan Pajak:
Prosedur Penagihan Pajak dimulai dari dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP). SKP tersebut dikeluarkan berdasarkan surat pemberitahuan yang disampaikan dan disusun oleh wajib pajak sendiri yang dikenal dengan istilah Self Assesment. Surat pemberitahuan tersebut diperiksa oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dari hasil pemeriksaan tersebut dikeluarkan terdiri dari berbagai jenis yaitu:
a)      Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) bagi wajib pajak yang utang pajaknya nihil.
b)      Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) bagi wajib pajak yang pembayaran pajaknya lebih besar dan utang pajaknya. Kelebihan tersebut akan dikembalikan.
c)      Surat Tagihan Pajak (STP) yaitu surat tagihan kepada wajib pajak yang masih mempunyai utang pajak.
d)     Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yaitu surat ketetapan pajak yang kurang dibayar oleh wajib pajak.
e)      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) yaitu Surat ketetapan pajak
Berdasarkan kelima jenis SKP tersebut hanya STP, SKPKB, SKPKBT yang dilakukan penagihan secara aktif kepada wajib pajak. Setelah lewat jangka waktu temponya dalam STP / SKPKB / SKPKBT, maka proses penagihan aktif dimulai yang dengan cara sebagai berikut :
1)      Tindakan pelaksanaan penagihan aktif diawali dengan penerbitan surat teguran atau surat lain yang sejenis oleh pejabat yang berwenang melakukan penagihan pajak (selanjutnya disebut sebagai pejabat) atau kuasa yang ditunjuk oleh pejabat tersebut setelah tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
2)      Surat teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya;
3)      Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, pejabat segera menerbitkan Surat Paksa.
4)      Apabila jumlah utang yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 2 kali 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepadanya maka pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP),
5)      Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, pejabat yang berwenang segera melaksanakan pengumuman lelang,
6)      Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pengumuman lelang, maka pejabat yang berwenang segera melakukan penjualan barang sitaan milik penanggung pajak melalui Kantor Lelang Negara, 41
7)      Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak dilakukan penyitaan atas barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang, maka pejabat yang berwenang segera melakukan penjualan, penggunaan, dan atau pemindahbukuan barang sitaan milik penanggung pajak;
8)      Dalam keadaan tertentu terhadap wajib pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran pajak, dan
9)      Dalam keadaan tertentu terhadap wajib pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan tindakan pencegahan dan atau penyanderaan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan izin dari Menteri Keuangan atau gubernur.



2.5  Hambatan-hambatan Penagihan Pajak
Dalam proses penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus, fiskus menggunakan surat paksa untuk memaksa Wajib Pajak melunasi hutang pajak terutang. Tetapi didalam pelaksanaannya tidaklah mudah, dikarenakan Jurusita pajak sebagai pelaksana penagihan pajak menjumpai beberapa hambatan-hambatan yang menyebabkan jalannya proses penagihan pajak terhadap wajib pajak/ penanggung pajak tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Adapun hambatan dalam proses penagihan pajak diuraikan sebagai berikut:
1.      Hambatan penagihan pajak dengan surat paksa terhadap penanggung pajak
a.       Alamat wajib pajak/ penanggung pajak yang berubah-ubah dan tidak dimutakhirkan oleh wajib Pajak/ penanggung pajak yang bersangkutan.
b.      Wajib pajak/ penanggung pajak menolak Surat Paksa.
c.       Jurusita tidak menjumpai wajib pajak/ penanggung pajak.
d.      Jurusita Pajak mendapatkan perlawanan dari wajib pajak/ penanggung pajak
e.       Wajib pajak/ penanggung pajak sedang mengajukan keberatan atau banding.

2.6 Upaya Penyelesaian dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam Penagihan pajak

              Pemberitahuan penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap wajib pajak/ penanggung pajak tidak selalu dapat dilakukan dengan lancar. Salah satunya penyebabnya yaitu dikarenakan tidak diketahuinya tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, maka penyampaian salinan Surat Paksa tersebut dilakukan dengan cara menempelkannya pada papan pengumuman kantor pejabat yang menerbitkannya, dan mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah. Menurut ketentuan tersebut, Jurusita Pajak dapat memuat salinan Surat Paksa ke media massa dan menitipkannya di papan pengumuman Kantor Pemerintahan Daerah setempat.
               Adakalanya wajib pajak/ penanggung pajak menolak untuk menerima Surat Paksa yang disampaikan oleh Jurusita Pajak dengan berbagai macam alasan. Apabila alasan penolakan tersebut dikarenakan tunggakan menurut Surat Paksa berbeda dengan tunggakan SKP yang dimiliki oleh wajib pajak/ penanggung pajak, maka Jurusita Pajak tidak boleh mengubah, apa yang tertulis dalam Surat Paksa tersebut. ataupun mencoret dan menambahkan pembetulannya. Penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara Jurusita Pajak mengembalikan Surat Paksa tersebut kepada Kepala Seksi Penagihan dengan disertai laporan dan usul agar dikeluarkan Surat Paksa yang baru dengan menggunakan nomor dan tanggal yang sama (pengganti Surat Paksa yang salah tersebut) sesuai dengan data sebenarnya. Hal tersebut dapat dilakukan pula atas kesalahan/ perbedaan-perbedaan alamat, perbedaan nama dan lain sebagainya.
Apabila Jurusita Pajak tidak menjumpai wajib pajak/ penanggung pajak maka salinan Surat Paksa tersebut dapat diserahkan/ diberikan kepada :
a.       Keluarga wajib pajak/ penanggung pajak atau orang bertempat tinggal bersama dengan wajib pajak/ penanggung pajak yang akil baliqh (dewasa dan sehat mental).
b.      Anggota Pengurus Komisaris atau para persero dari Badan Usaha yang bersangkutan atau;
c.       Pejabat Pemerintah setempat (Bupati/ Walikota/ Camat/ Lurah) dalam hal mereka tersebut dalam butir a dan b di atas juga tidak dijumpai.
              Apabila dalam pelaksanaan penyampaian Surat Paksa, Jurusita Pajak menemui persoalan/ hambatan yang berasal dari wajib pajak/ penanggung pajak berupa penolakan bahkan perlawanan kepada Jurusita Pajak, maka penyelesaiannya permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan koordinasi atau meminta bantuan pihak Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain.
               Dalam hal wajib pajak/ penanggung pajak menolak menerima Surat Paksa dengan alasan ada kesalahan dalam Surat Paksa (misalnya nama dan alamat wajib pajak/ penanggung pajak tidak benar), maka penyelesaiannya Surat Paksa tersebut harus diperbaiki. Namun, apabila alasan penolakan karena wajib pajak/ penanggung pajak sedang mengajukan keberatan atau banding, maka Surat Paksa dapat
     diberikan pada wajib pajak/ penanggung pajak. Akan tetapi bila wajib pajak/penanggung pajak tetap menolak dengan alasan yang tidak jelas, maka Surat Paksa itu ditinggalkan saja, dengan demikian Surat Paksa dianggap telah diberitahukan/ disampaikan.








BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan yang sudah diuraikan dalam makalah ini, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Upaya dalam melakukan Penagihan Utang Pajak di Indonesia dengan Surat Paksa terhadap Penanggung telah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang berlaku dan memberikan pengaruh yang besar dalam pencairan tunggakan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak/ penanggung pajak terhadap penerimaan kas negara.


3.2  Saran
Dari penulisan makalah ini adapun harapan bagi pembaca yaitu agar pembaca mampu menerapkan atau menggunakan ilmu tentang penagihan pajak. Dan juga diharapkan kesadaran pembaca dengan tanggung jawab menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar(self assessment) meningkat di Indonesia agar semua pembangunan di Indonesia merata.


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Republik Indonesia, Prosedur dan Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak.
Undang-undang No.19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Undang-undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
Suandy, Erly. 2014. Hukum Pajak Edisi 6: Penagihan Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Hadi, H. Moeljo. 1994. Dasar-Dasar Peangihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak Pusat dan Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://duniapengetahuan2627.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-self-assessment-system.html