KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“UPAYA PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK DI INDONESIA” ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu XXXX, S.Pd., MM selaku Dosen
mata kuliah Hukum Pajak yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah
ini di waktu yang akan datang.
Malang,
04 Januari 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan suatu iuran wajib
bagi wajib pajak. Adanya pajak diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan hidup
semua masyarakat dengan meratakan pembangunan di Indonesia. Pajak tidak bisa
dirasakan lagsung manfaatnya oleh masyarakat Wajib Pajak, karena masih butuh
proses dan pertimbangan oleh pemerintah. Didalam suatu wilayah di Indonesia dan
segala sesuatu yang bernilai di atasnya, dalam pelaksanaan pemungutan pajak
harus memiliki aturan yang jelas.
Salah satu media perpajakan yang
mempunyai kekuatan hukum memaksa untuk penagihan tunggakan pajak adalah
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP). Menurut UU RI Nomor 19 Tahun 2000
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa pasal 1 ayat (12), “Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak”. Jumlah tagihan pajak yang tidak atau kurang dibayar sampai
dengan tanggal jatuh tempo pembayaran sesuai yang tercantum dalam STP, SKPKB,
dan SKPKBT ditagih dengan menggunakan Surat Paksa.
Peningkatan
jumlah pajak adalah tujuan dari pemerintah di Indonesia, karena dengan
teraturnya WP membayar pajak maka tujuan tersebut akan terlaksana dengan baik. Pemeriksaan dan penagihan pajak
adalah upaya meningkatkan penerimaan pajak. Pemeriksaan serta penagihan pajak
juga akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak (tax compliance), jika
kepatuhan dan jumlah wajib pajak meningkat maka akan meningkatkan penerimaan
pajak Negara.Penagihan pajak dilaksanakan terhadap tunggakan pajak yang belum
dipenuhi oleh wajib pajak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
sudah kami jelaskan tersebut, kami menemukan pokok permasalahannya sebagai
berikut:
1. Apa pengertian pajak?
2. Apa pengertian penagihan pajak?
3. Apa saja hambatan dalam proses
penagihan pajak?
4. Bagaimana upaya-upaya dalam
mengahadapi hambatan dalam penagihan pajak?
1.3 Manfaat Penulisan
Penulisan
makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan wawasan bagi
mahasiswa atau pembaca. Dan diharapkan tulisan ini dapat menjadi suatu
pemaparan yang dapat menjelaskan tentang tata cara penagihan pajak di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pajak
Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.. Adapaun menurut Prof. Dr. MJH.
Smeeth, pengertian pajak adalah prestasi pemerintah yang terhitung melalui
norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan.
Dari definisi diatas, dapat
disimpulkan istilah wajib pajak mengandung pengertian bahwa wajib pajak itu
tidak mau membayar pajak yang dibebankan kepadanya, maka hutang pajak itu dapat
ditagih secara paksa, misalnya dengan penyitaan. Wujud dari pembayaran pajak
tersebut nantinya akan berwujud pembangunan yang dilaksanakan di seluruh
Indonesia.
2.2 Pengertian Penagihan Pajak
Menurut Moeljo, SH dengan bukunya
yang berjudul “ Dasar-dasar Penagihan Pajak Negara “ menjelaskan bahwa
penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal Pajak,
karena Wajib Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh kewajiban perpajakan
menurut Undang-undang Perpajakan.
Menurut Rachmat Soemitro, SH dengan
bukunya yang berjudul “ Azas dan Dasar Perpajakan 2 yaitu tepatnya pada halaman
67 ( enam puluh tujuh) cetakan tahun 1988 menjelaskan bahwa penagihan adalah
perbuatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena Wajib Pajak
tidak memenuhi ketentuan undang- undang perpajakan.
Berdasarkan Undang-undang No.19
Tahun 2000 Pasal 1 angka, menjelaskan bahwa pengertian dari penagihan pajak
adalah suatu rangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi hutang pajak dan
biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, dan menjual barang yang telah disita.
Adapun tujuan dari dilaksanakannya penagihan adalah supaya pelunasan hutang
Wajib Pajak yang dilakuakan oleh Fiskus harus terarah agar terpenuhi tujuan
yang diharapkan sebelumnya.
Dari beberapa
pengertian diatas penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung
pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan
Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita.
2.3 Dasar Penagihan Pajak
Dasar hukum untuk melakukan
penagihan pajak diatur dalam UU KUP, misalnya untuk:
1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diatur
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 pasal 14 disebutkan “ Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan (SKP), dan Surat Tagihan Pajak (STP)
merupakan dasar penagihan pajak”.
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 sebagaiman
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 pasal 14 ayat 1
disebutkan “ Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak ata Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan
maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
merupakan dasar penagihan pajak”.
3. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 1 ayat 6.
2.4 Upaya Dalam Penagihan Pajak
Tindakan penagihan pajak dengan
Surat paksa dilakukan apabila fiskus telah melakukan tindakan penagihan pajak
secara aktif tetapi wajib pajak tidak juga membayar utang pajaknya. Tindakan
tersebut merupakan perwujudan dari alat paksa yang dimiliki oleh negara dan
yang diatur dalam hukum pajak. Menurut pasal 20 Undang-Undang KUP mengatur
bahwa jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetatapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah
yang tidak dibayar oleh penanggung pajak sesuai dengan jangka waktu pembayaran
pajak yang telah ditentukan ditagih dengan Surat Paksa.
Berdasarkan jumlah tagihan pajak
tersebut apabila terdapat tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak sampai
dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan tanggal jatuh tempo
penundaan pembayaran wajib pajak tidak melunasi pajak terutang, atau wajib
pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihan pajak yang tidak atau
kurang bayar tersebut dilakukan dengan Surat Paksa.
Tindakan penagihan pajak dengan
Surat Paksa dilaksanakan tidak hanya terhadap wajib pajak tetapi jugaterhadap
penanggung pajak yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang KUP diwajibkan
untuk ikut bertanggung jawab dalam pembayaran pajak yang terutang. Menurut
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Surat Paksa diterbitkan apabila :
(1)
Penanggung
pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran
atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
(2)
Terhadap
penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau
(3)
Penanggung
pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Skema Prosedur Penagihan Pajak:
Prosedur Penagihan Pajak dimulai
dari dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Kantor Pelayanan Pajak
(KPP). SKP tersebut dikeluarkan berdasarkan surat pemberitahuan yang
disampaikan dan disusun oleh wajib pajak sendiri yang dikenal dengan istilah
Self Assesment. Surat pemberitahuan tersebut diperiksa oleh Kantor Pelayanan
Pajak (KPP), dari hasil pemeriksaan tersebut dikeluarkan terdiri dari berbagai
jenis yaitu:
a) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
bagi wajib pajak yang utang pajaknya nihil.
b) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB) bagi wajib pajak yang pembayaran pajaknya lebih besar dan utang
pajaknya. Kelebihan tersebut akan dikembalikan.
c) Surat Tagihan Pajak (STP) yaitu
surat tagihan kepada wajib pajak yang masih mempunyai utang pajak.
d) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) yaitu surat ketetapan pajak yang kurang dibayar oleh wajib pajak.
e) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT) yaitu Surat ketetapan pajak
Berdasarkan
kelima jenis SKP tersebut hanya STP, SKPKB, SKPKBT yang dilakukan penagihan
secara aktif kepada wajib pajak. Setelah lewat jangka waktu temponya dalam STP
/ SKPKB / SKPKBT, maka proses penagihan aktif dimulai yang dengan cara sebagai
berikut :
1)
Tindakan
pelaksanaan penagihan aktif diawali dengan penerbitan surat teguran atau surat
lain yang sejenis oleh pejabat yang berwenang melakukan penagihan pajak
(selanjutnya disebut sebagai pejabat) atau kuasa yang ditunjuk oleh pejabat
tersebut setelah tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
2)
Surat
teguran tidak diterbitkan terhadap penanggung pajak yang telah disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya;
3)
Apabila
jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung
pajak setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkannya surat teguran, pejabat
segera menerbitkan Surat Paksa.
4)
Apabila
jumlah utang yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penanggung pajak
setelah lewat waktu 2 kali 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepadanya
maka pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP),
5)
Apabila
utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan
penyitaan, pejabat yang berwenang segera melaksanakan pengumuman lelang,
6)
Apabila
utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pengumuman lelang,
maka pejabat yang berwenang segera melakukan penjualan barang sitaan milik
penanggung pajak melalui Kantor Lelang Negara, 41
7)
Apabila
utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
penanggung pajak setelah lewat waktu 14 hari sejak dilakukan penyitaan atas
barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang, maka pejabat yang
berwenang segera melakukan penjualan, penggunaan, dan atau pemindahbukuan
barang sitaan milik penanggung pajak;
8)
Dalam
keadaan tertentu terhadap wajib pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan
penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran
pajak, dan
9)
Dalam
keadaan tertentu terhadap wajib pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan
tindakan pencegahan dan atau penyanderaan oleh pejabat yang berwenang
berdasarkan izin dari Menteri Keuangan atau gubernur.
2.5 Hambatan-hambatan Penagihan Pajak
Dalam
proses penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus, fiskus menggunakan surat
paksa untuk memaksa Wajib Pajak melunasi hutang pajak terutang. Tetapi didalam
pelaksanaannya tidaklah mudah, dikarenakan Jurusita pajak sebagai pelaksana
penagihan pajak menjumpai beberapa hambatan-hambatan yang menyebabkan jalannya
proses penagihan pajak terhadap wajib
pajak/ penanggung pajak tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Adapun
hambatan dalam proses penagihan pajak diuraikan sebagai berikut:
1. Hambatan
penagihan pajak dengan surat paksa terhadap penanggung pajak
a. Alamat wajib pajak/ penanggung pajak
yang berubah-ubah dan tidak dimutakhirkan oleh wajib Pajak/ penanggung pajak
yang bersangkutan.
b. Wajib pajak/ penanggung pajak
menolak Surat Paksa.
c. Jurusita tidak menjumpai wajib
pajak/ penanggung pajak.
d. Jurusita Pajak mendapatkan
perlawanan dari wajib pajak/ penanggung pajak
e. Wajib pajak/ penanggung pajak sedang
mengajukan keberatan atau banding.
2.6 Upaya
Penyelesaian dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam Penagihan pajak
Pemberitahuan
penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap wajib pajak/ penanggung pajak tidak
selalu dapat dilakukan dengan lancar. Salah satunya penyebabnya yaitu
dikarenakan tidak diketahuinya tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat
kedudukannya, maka penyampaian salinan Surat Paksa tersebut dilakukan dengan
cara menempelkannya pada papan pengumuman kantor pejabat yang menerbitkannya,
dan mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah. Menurut ketentuan tersebut,
Jurusita Pajak dapat memuat salinan Surat Paksa ke media massa dan
menitipkannya di papan pengumuman Kantor Pemerintahan Daerah setempat.
Adakalanya
wajib pajak/ penanggung pajak menolak untuk menerima Surat Paksa yang
disampaikan oleh Jurusita Pajak dengan berbagai macam alasan. Apabila alasan
penolakan tersebut dikarenakan tunggakan menurut Surat Paksa berbeda dengan
tunggakan SKP yang dimiliki oleh wajib pajak/ penanggung pajak, maka Jurusita
Pajak tidak boleh mengubah, apa yang tertulis dalam Surat Paksa tersebut.
ataupun
mencoret dan menambahkan pembetulannya. Penyelesaiannya dapat dilakukan dengan
cara Jurusita Pajak mengembalikan Surat Paksa tersebut kepada Kepala Seksi
Penagihan dengan disertai laporan dan usul agar dikeluarkan Surat Paksa yang
baru dengan menggunakan nomor dan tanggal yang sama (pengganti Surat Paksa yang
salah tersebut) sesuai dengan data sebenarnya. Hal tersebut dapat dilakukan
pula atas kesalahan/ perbedaan-perbedaan alamat, perbedaan nama dan lain
sebagainya.
Apabila
Jurusita Pajak tidak menjumpai wajib pajak/ penanggung pajak maka salinan Surat
Paksa tersebut dapat diserahkan/ diberikan kepada :
a.
Keluarga
wajib pajak/ penanggung pajak atau orang bertempat tinggal bersama dengan wajib
pajak/ penanggung pajak yang akil baliqh (dewasa dan sehat mental).
b.
Anggota
Pengurus Komisaris atau para persero dari Badan Usaha yang bersangkutan atau;
c.
Pejabat
Pemerintah setempat (Bupati/ Walikota/ Camat/ Lurah) dalam hal mereka tersebut
dalam butir a dan b di atas juga tidak dijumpai.
Apabila
dalam pelaksanaan penyampaian Surat Paksa, Jurusita Pajak menemui persoalan/
hambatan yang berasal dari wajib pajak/ penanggung pajak berupa penolakan
bahkan perlawanan kepada Jurusita Pajak, maka penyelesaiannya permasalahan
tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan koordinasi atau meminta bantuan pihak
Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan,
Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat jenderal
Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain.
Dalam
hal wajib pajak/ penanggung pajak menolak menerima Surat Paksa dengan alasan
ada kesalahan dalam Surat Paksa (misalnya nama dan alamat wajib pajak/
penanggung pajak tidak benar), maka penyelesaiannya Surat Paksa tersebut harus
diperbaiki. Namun, apabila alasan penolakan karena wajib pajak/ penanggung
pajak sedang mengajukan keberatan atau banding, maka Surat Paksa dapat
diberikan
pada wajib pajak/ penanggung pajak. Akan tetapi bila wajib pajak/penanggung
pajak tetap menolak dengan alasan yang tidak jelas, maka Surat Paksa itu
ditinggalkan saja, dengan demikian Surat Paksa dianggap telah diberitahukan/
disampaikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penulisan yang sudah diuraikan dalam makalah ini, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa Upaya
dalam melakukan Penagihan Utang Pajak di Indonesia dengan Surat Paksa terhadap
Penanggung telah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang
berlaku dan memberikan pengaruh yang besar dalam pencairan tunggakan pajak yang
dilakukan oleh wajib pajak/ penanggung pajak terhadap penerimaan kas negara.
3.2 Saran
Dari
penulisan makalah ini adapun harapan bagi pembaca yaitu agar pembaca mampu menerapkan
atau menggunakan ilmu tentang penagihan pajak. Dan juga diharapkan kesadaran
pembaca dengan tanggung jawab menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar(self assessment) meningkat
di Indonesia agar semua pembangunan di Indonesia merata.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Republik Indonesia, Prosedur dan Tata
Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak.
Undang-undang
No.19 Tahun 2000 Tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa.
Undang-undang No.28 Tahun 2007
Tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
Suandy, Erly. 2014. Hukum Pajak
Edisi 6: Penagihan Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Hadi,
H. Moeljo. 1994. Dasar-Dasar Peangihan Pajak dengan Surat Paksa oleh Jurusita
Pajak Pusat dan Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://duniapengetahuan2627.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-self-assessment-system.html